Pengamatan terhadap dinamika perkembangan politik ekonomi di Indonesia, dapat ditinjau dari akar budayanya. Pertama dapat dijelaskan melalui akar budaya politik, yang dipengaruhi oleh idiologi dan struktur perpolitikan Istana. Kedua dapat dijelaskan melalui transformasi perekonomian Indonesia kedalam sistem kapitalis, yang keduanya mempengaruhi perkembangan politik ekonomi di Indoenesia.
Dinamika perkembangan politik di Indonesia bila dipandang dalam perspektif Sejarah, merupakan suatu mata-rantai proses yang berkesinambungan, dan ada hubung-kaitnya. Oleh karena itu, dalam melihat situasi terbentuknya suatu birokrasi dalam kurun waktu tertentu, tidaklah dapat dipisahkan dengan akar budaya politik yang mendahuluinya. Hukum sejarah menjelaskan, bahwa masa kini adalah produk dari masa lampau. Namun, dalam perkembangan selanjutnya terdapat pengaruh zaman dalam proses Sejarah, munculnya bentuk birokrasi baru. Bentuk birokrasi baru meskipun berbeda dengan birokrasi masa lampau, namun masih sering tampak sisa-sisa lama tercermin dalam birokrasi baru. Dalam tulisan ini, pertama mencoba untuk melacak akar budaya politik di Indonesia masa lampau, dan pengaruhnya terhadap birokrasi militer dan politik ekonomi. Kedua mencoba melihat dari transformasi perekonomian di Indonesia ke dalam sistem kapitalis, yang mempengaruhi dinamika perkembangan politik hingga terbentuknya birokrasi militer. Berangkat dari pertanyaan tentang akar kapitalisme di Indonesia, dan bagaimanakah pengaruhnya terhadap proses terbentuknya birokrasi militer di Indonesia. Akar budaya politik di Indonesia dipengaruhi oleh idiologi dan struktur perpolitikan penguasa, termasuk di dalamnya kerajaan-kerajaan, penguasa kolonial, dan penguasa pendudukan Jepang di Indonesia. Ketiganya memberikan andil sebagai akar budaya politik, sehingga pada perkembangan selanjutnya sering muncul dalam dinamika perkembangan politik di Indonesia dan juga perkembangan perekonomiannya.
Kerajaan-kerajaan di Indonesia pada umumnya memiliki sistem feodal yang sama. Khususnya di Jawa, antara pemegang kekuasaan dan gejala kekuasaan dipandang sebagai suatu kesatuan yang nyata. Oleh karena itu kegiatan politik dianggap berpusat pada si pemegang kekuasaan, dan struktur politik menggantung dalam bentuk jaringan-jaringan vertikal yang saling bersaingan untuk memperoleh perlindungan pribadi dari pemegang kekuasaan.1 Hal itu mempunyai kaitan erat dengan munculnya patrimonial, yaitu adanya ikatan pada sistem kesetiaan hubungan pribadi yang hirarchis dan otoriter.
R.W. liddle berpendapat, bahwa karakter Jawa mempengaruhi politik Indonesia pada era Orde baru, rezim yang berkuasa sekarang ini bersandar pada jaringan-jaringan pribadi antara patronklien serta penyukongnya.2 Oleh karena itu birokrasi yang berjalan merupakan bentuk patrimonial, seperti halnya pada kerajaan Jawa, raja memberikan appanage kepada para pendukungnya, para klient dan keluarganya. Bentuk appanage baru yang kini dibagi-bagikan itu berwujud, antara lain : jabatan dalam pemerintahan, jabatan-jabatan dengan kekuasaan mengalokasikan lisensi import dan eksport.
Disamping sistem patrimonial, dalam masyarakat Jawa juga terdapat pembagian cultural antara abangan dan santri. Antara abangan dan santri sering terjadi persaingan kekuatan dalam kekuasaan. Pada mulanya kaum santri mempunyai kekuasaan tertinggi diatas kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Seperti kerajaan Giri, sebuah kerajaan yang dipimpin oleh ulama, mempunyai wewenang untuk melantik dan memberi gelar raja-raja Jawa, sehingga disebut dengan Paus Van Java.3 Namun setelah Mataram berdiri, tidak lagi mengakui kekuasaan Giri, bahkan raja Mataram langsung bergelar sebagai “Sayidin panatagama kalifatullah ing Tana Jawa”, yaitu raja merangkap penata agama dan wakil Tuhan di Jawa. Para santri/ulama hanya diangkat sebagai aparatur birokrasi dibawah raja. Situasi yang demikian itu sering menimbulkan konflik cultural antara raja dan perangkat birokratnya dengan santri yang ingin mengembalikan kekuatannya. Dalam hal ini raja (birokrasi/priyayi) didukung oleh kaum abangan dalam menentang kaum santri.
Konflik kekuatan cultural antara santri di satu pihak berhadapan dengan birokrasi dan kaum abangan dipihak lain selalu muncul dalam percaturan politik. Pada zaman Orde Baru konflik itu muncul kembali, yaitu kaum santri berhadapan dengan kaum abangan dan priyayi (yang diwakili oleh penguasa militer). Dalam hal ini menunjukkan bahwa Orde baru tidak mampu merujukan kekuatan cultural, santri dan abangan.4
Penguasa militer dalam Orde baru berdiri mewakili tradisi cultural abangan dan priyayi, dan tidak berusaha mengintegrasikan kaum santri, namun justru membendung oposisi santri dengan depoltisasi.5 Di Indonesia pemerintahan birokratis sangat berhasil dalam meniadakan peran serta sementara kekuatan dalam masyarkat, dan mengkooptasi pemimpin-pemimpin lainnya dalam kerangka jaringan patron-kilen, yang kadangkala diperlukan untuk menghadapi tuntutan golongan Islam.6
Dalam mekanisme politik zaman Orde Baru partai Islam sedikit demi sedikit mengalami pasifikasi, sehingga aspirasi politik Islam makin lama makin surut. Diluar partai Islam, terdapat pula aspirasi politik yang cukup kuat, namun selalu mendapat perhatian khusus dan pengawasan yang ketat. Sering munculnya letupan konflik antara birokrasi dengan kelompok Islam, seperti kasus Komando Jihad, Peristiwa Tanjung Priok dan sebagainya, sebagai bukti yang masih harus dipelajari. Apakah peristiwa tersebut murni dari kelompok Islam, oleh karena ketidakpuasan dengan birokrasi, atau merupakan sebuah scenario untuk memancing kelompok Islam berbuat distruktif, kemudian lebih mudah mengontrol dan menekannya.
Pada abad ke 16, tepatnya tahun 1511 Portugis masuk ke Indonesia, kemudian disusul oleh VOC Belanda pada tahun 1596 di Banten. Hubungan kerajaan-kerajaan di Indonesia dengan Belanda pada mulanya mempunyai status yang sederajat, Namun pada abad ke 18 terjadi pergeseran, kedudukan kerajaan-kerajaan berada di bawah penguasa Kolonial Belanda. Akibat dari pergeseran kekuasaan itu, terjadilah posisi aparatur birokrasi tradisional menjadi agen kolonial Belanda, yang bekerja untuk mengeksploitasi rakyat. Di satu pihak kelihatannya Belanda masih menghormati para bangsawan (birokrasi tradisional), namun di pihak lain birokrat tradisional hanyalah sebagai pelaksana di bawah pemerintah kolonial Belanda.7
Hubungan birokrasi tadisional dengan pemerintah kolonial Belanda itu membawa akibat : pertama, adanya perlawanan rakyat yang tertindas terhadap birokrasi tradisional (sebagai agen kolonial). Perlawanan itu dipimpin oleh para ulama pedesaan, sebagai elite religius dan informasi leaders yang sangat berpengaruh. Kedua, dikenalnya sistem kolonial yang berupa monopoli dan sistem ekonomi kapitalisme.
Dari akibat yang kedua, yaitu dikenalnya sistem monopoli dan sistem kapitalisme modern itulah yang menjadi akar dari kapitalisme birokrasi di Indonesia. Munculnya pengusaha-penguasa, atau penguasa-pengusaha, adalah merupakan kelanjutan dari pengaruh kolonial.
Pada bulan maret 1942, wilayah Indonesia diduduki oleh penguasa bala tentara Jepang. Walaupun penguasa Bala Tentara Jepang itu hanya tiga setengah tahun, namun terdapat pengaruh yang besar terhadap kehidupan di Indonesia. Pendidikan kemiliteran yang keras dalam struktur kekuasaan fasisme, telah ditanamkan kepada generasi muda Indonesia, melalui Peta dan Heiho. Dengan demikian memungkinkan masuknya pengaruh fasisme di Indonesia. Memang akar budaya politik fasisme dan pengaruhnya pada birokrasi militer zaman Orde Baru ini belum diteliti secara mendalam. Namun perlu dipertanyakan, apakah tidak mungkin budaya politik fasisme itu juga terdapat dalam birokrasi militer dewasa ini. Pertanyaan itu muncul, sebab para birokrat militer dewasa ini mempunyai indikator pernah mengalami pendidikan Jepang.
Bila pada Bagian II dibicarakan tentang akar budaya politik di Indonesia, maka pada bagian ini dibicarakan proses transformasi perekonomian, diharapkan akan dapat melihat lebih mendasar terbentuknya birokrasi dan pengusaha militer di Indonesia. Dalam transformasi perekonomian di Indonesia, tampak kapitalisme mempunyai peranan yang sangat penting didalam menciptakan kelas borjusi di kalangan masyarakat Indonesia. Richard Robison berpendapat, bahwa kapitalisme telah menciptakan empat golongan borjuis di dalam masyarakat Indonesia, dan bahwa pertarungan kekuasaan dalam Orde Baru merupakan pencerminan kepentingan-kepentingan bersaing di antara kelompok-kelompok tersebut.8
Keempat kelompok borjuis yang berkembang di dalam masyarkat Indonesia itu, ialah :
Pertama, golongan borjuis pedagang asli, dalam hal ini terdiri dari pedagang Islam, berpusat di sekitar perdagangan kecil dan produksi komoditi. Golongan ini merupakan produk kapitalisme dagang yang lebih awal. Dalam peta kekuatan politik golongan asli, golongan pertama ini selalu menempati posisi pinggir, sejak tahun 1920-an. Dasar ekonominya semakin lama merosot, sebagai akibat dari struktural yang langsung dipegang oleh kapitalisme kolonial, yaitu pemberian tempat bagi pedagang Cina sebagai perantara perdagangan dalam negeri.
Struktur ini tidak melibatkan pedagang asli, oleh karena itu ruang geraknya terbatas dalam lingkungan perdagangan kecil dan produksi komoditi, dipedesaan dan kota-kota kecil tanpa mendapatkan perlindungan pemerintah Hindia Belanda. Mereka berhadapan dengan masuknya modal Cina yang mendapat perlindungan dari pemerintah Kolonial, terutama bersaing dalam produksi tekstil, batik dan rokok kretek.9
Selain kemerosotan dalam bidang ekonomi, golongan Islam juga mengalami kemunduran di bidang politik, Sarekat Islam yang semula mewakili sentimen nasionalis dan Cina di kalangan pedagang asli, sejak pertengahan 1920-an bergeser di bawah dominasi kaum politasi sekuler yang berasal dari golongan pejabat priyayi. Golongan pedagang Islam ini selanjutnya tidak pernah lagi mendapatkan kembali basis kekuatan politiknya.
Setelah Republik Indonesia Merdeka, nasib golongan pedagang asli tetap tidak mendapatkan perlindungan dari Negara. Kebijakan pemerintah untuk mempribumikan beberapa sektor ekonomi, dengan Program Benteng (1950 – 1955), ternyata tidak sungguh-sungguh menunjang kaum pengusaha asli. Namun justeru yang dikembangkan adalah Kapitalisme Negara.
Pada zaman Orde Baru terjadilah perubahan strategi ekonomi Indonesia. Strategi ekonomi yang disusun oleh kaum tehnokrat Orde Baru mengarah pada pertumbuhan ekonomi yang maksimal, melalui pemasukan modal dan teknologi asing secara besar-besaran.10 Adanya Undang-undang tentang Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1967, Indonesia membuka pintu lebar-lebar terhadap masuknya modal asing. Akibat dari politik pintu terbuka lebar untuk modal asing itu, ialah terjadinya monopoli modal asing dalam bidang : pertambangan, kehutanan, produksi barang-barang substitusi import.
Dengan masuknya modal asing itu ternyata mendesak bidang gerak dari pengusaha asli. Suatu gerakan modal asing dan Cina dalam skala besar mengalir dalam sektor-sektor bidang gerak pengusaha asli, seperti pada batik, tekstil dan minuman, serta rokok kretek. Kerjasama modal asing dengan Cina semakin kuat, sehingga menimbulkan kecemburuan sosial, yang meledak pada peristiwa 15 Januari 1974.
Kecemburuan sosial itu tidak hanya mengarah kepada antara modal asing dan Cina, namun juga mengarah kepada birokrasi yang sedang berkuasa. Hal ini dikarenakan, bahwa kaum elite politik birokrasi ikut mengambil keuntungan bagian dari permodalan itu, dengan pembagian lisensi, kontrak, kredit dan konsesi-konsesi lainnya. Pada zaman Orde Baru, antara kelompok pengusaha asli dan birokrasi terjadinya benturan kembali dalam masalah modal asing. Di satu pihak pengusaha asli mengalami kemerosotan oleh masuknya investasi asing dan modal Cina yang kuat, dipihak lain kelompok elite politik birokrasi dan keluarganya, mendapatkan manfaat dari masuknya modal asing dan Cina sebagai bagian dari joint venture yang menguasai masalah import.11
Peristiwa 15 Januari 1974 atau disebut dengan Malari, ternyata untuk sementara waktu menyedarkan kaum elite politik birokrasi, bahwa kebijakannya dalam bidang ekonomi berakibat buruk. Maka pemerintah mengeluarkan kebijakan baru dalam hal penanaman modal asing, diarahkan untuk hanya menerima partner joint venture dengan pribumi, dan menyediakan kredit bank negara bagi penguasa asli.12 Namun kejadian berikutnya ternyata yang banyak menggunakan kesempatan dan manfaat dari monopoli atas kredit bank Negara dan joint venture hanyalah para pejabat dan klien-klien mereka.
Golongan pedagang asli yang pada umumnya kelompok Islam, telah menjadi korban penetrasi kapitalis asing dan Cina, yang memiliki sumber-sumber modal dan teknologi berlimpah. Selain itu juga menjadi korban dari tradisi kekuasaan politik birokrasi. Kedua, Kapitalisme Negara yang didukung oleh suatu aliansi antara birokrat sipil, kaum intelektual dan mahasiswa. Kekuatan dari kapitalisme Negara terletak pada peluasan sektor Negara, yang memberikan kesempatan khusus pada pendukungnya, yaitu kaum teknokrat, intelektual, perencana dan pengelola. Perkembangan kapitalisme negara tidak mengalami nasib yang baik, sebab terhambat oleh adanya sifat patrimonial Negara birokrasi dan aliansinya dengan modal asing serta modal Cina.
Kapitalisme Negara terbentuk setelah kemerdekaan Indonesia, dengan usaha awalnya sebagai mengatasi kesulitan warisan Jepang dan membongkar belenggu perekonomian Belanda, golongan ini tidak bekerjasama dengan kaum pengusaha asli, dengan lebih mengandalkan kepada negara kebangsaan sendiri untuk membangun otonomi perekonomiannya. Sebagai penyangga kapitalisme negara, dengan mendirikan Bank Sentral, dan beberapa perusahaan negara yang beroperasi di bidang perdagangan dan industri. Dalam hal ini Menteri Keuangan seperti Soemitro Djojohadikoesoemo dan Iskaq menggunakan wewenang negara untuk meningkatkan penguasaan nasional atas sektor ekonomi yang strategis.13
Kapitalisme Negara diperkuat dengan adanya nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia, tahun 1957 – 1958. Dari perusahaan-perusahaan itu mendapat modal dari bidang perkapalan, perkebunan dan perdagangan. Kapitalisme Negara ini meningkat dengan fokus utama Ekonomi Terpimpin dalam Deklarasi Ekonomi (Dekon).14 Kapitalisme Negara berakhir setelah tahun 1965, yaitu setelah adanya pergantian pemerintahan Soekarno ke pemerintahan Soeharto. Pra penyusun strategi ekonomi Orde Baru lebih cenderung untuk menempatkan kembali modal swasta dan invetasi modal asing pada posisi yang utama. Sejak adanya pintu terbuka terhadap modal asing itu, maka terjadilah penguasaan modal asing itu, maka terjadilah penguasaan modal asing terhadap bidang : pertambangan, kehutanan, dan sangat berperan dalam sektor substitusi import.
Namun masih terdapat sisa-sisa Kapitalisme Negara yang dipertahankan, seperti beberapa perusahaan yang masih dianggap mempunyai arti penting dalam sektor-sektor ekonomi yang strategis. Perusahaan-perusahaan Negara itu antara lain : Perkebunan, Aneka Tambang dan Timah, Semen Gresik, dan Pertamina. Banyak diantara perusahaan Negara itu telah menjadi dinasti ekonomi bagi klik-klik birokrat militer tertentu, dan para jendral ekonomi bagi klik-klik birokrat militer tertentu, dan para jendral dengan sendirinya menolak untuk melepaskan sumber-sumber keuangan ini.15
Ketiga adalah golongan birokrasi militer, yang telah mendapat basis ekonomi bukan dari pemilikan modal swasta, tetapi dengan menggunakan kekuasaan dan jabatan birokrasi. Dengan kekuasaan dan jabatan birokratis ini memungkinkan komando-komando tertentu mempunyai acces (terobosan masuk) dalam pasaran ekonomi, sampai ke daerah-daerah. Dengan cara menduduki pusat-pusat kekuasaan dalam birokrasi Negara dagang yang patrimonial, mereka mendapat bagian dari keuntungan yang dihasilkan oleh modal asing dan modal Cina.
Kapitalisme yang berkembang dalam lingkungan birokrasi merupakan hasil dari penggunaan wewenang birokrasi yang patrimonial, di mana garis pemisah antara pelayanan umum dan kepentingan pribadi menjadi kabur. Dalam hal ini jabatan birokrasi itu sendiri dapat menjadi sebuah appanage, yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk memanfaatkan jabatan tersebut, guna mencapai tujuan-tujuan politik dan keuntungan material pribadi.16 Bentuk appanage baru yang muncul pada masa kini ialah berbentuk jabatan-jabatan birokratis yang dibagi-bagikan diantara kelompok-kelompok pejabat. Appanage bentuk baru yang menguntungkan, adalah jabatan-jabatan dengan kekuasaan mengalokasikan beberapa lisensi, seperti : lisensi import dan eksport, lisensi pengeboran minyak dan pertambangan, dan konsesi hutan. Perusahaan-perusahaan Negara yang dikuasai kaum militer ini akhirnya dapat dikatakan sebagai makelar (badan perantara) untuk membagikan lisensi import dan distribusi kepada para importer Cina dan importer asing, yang dapat peluang terus menguasai sektor import.17
Sebagai contoh, perusahaan minyak milik Negara Ptma., pada zaman Orde Baru merupakan sumber utama pemasukan keuangan Negara, namun kenyataannya menjadi semacam barang yang dibagikan dan dikuasai perwira tinggi militer. Pertanggung-jawabannya langsung kepada presiden, dalam mengejar berbagai kepentingan yang bukan hanya untuk pemerintah. Dalam mengejar keuntungan jangka pendek, Ptma. yang dikenal sebagai perusahaan minyak ternyata tidak terlibat dalam pengeboran yang sebenarnya. Bagaikan seorang patron, Ptma. bertindak sebagai penguasa yang membagikan lisensi pengeboran minyak kepada perusahaan asing. Adanya kombinasi antara monopoli dan ketiadaan tanggung jawab kepada umum, maka membuka peluang besar yang memungkinkan dapat mengalihkan sejumlah besar pendapatan Negara kepada berbagai kelompok militer. Dengan cara yang demikian itu merupakan bagian yang sangat penting dalam membangun struktur kekuasaan Orde Baru.18
Munculnya orde baru membuka cakrawala bagi perusahaan swasta sebagai titik pusat investasi dan produksi. Dalam hal ini oleh kelompok-kelompok politik birokrasi yang dominan, ramai-ramai mendirikan perusahaan swasta, sebagai sarana untuk memperkaya diri. Perusahaan-perusahaan itu juga berfungsi sebagai pengumpul dana untuk menopang struktur kekuasaan politik birokratis. Kelompok usahawan birokrat ternyata tidak berkepentingan untuk mengumpulkan modal yang produktif, usaha mereka terbatas pada pemilikan saham minoritas dalam usaha-usaha joint venture. Dalam hal ini peranannya sangat politis, sehingga tidak dapat bertahan setelah hilangnya jabatan resmi mereka. Mereka tidak mempunyai harga lagi bagi partner joint venture, pada saat tidak sanggup lagi memperoleh lisensi, kontrak dan konsesi klainnya. Oleh karenanya mereka hanya dapat menikmati masa yang singkat sebagai partner joint-venture. Sebagai pegangan, mereka mencoba membangun basis kekuasaan jangka panjang, melalui pemilikan tanah, gedung-gedung dan benda yang tidak bergerak lainnya. Namun dengan perbuatannya itu, mereka sesungguhnya tidak membentuk kelas borjusi baru, melainkan membentuk kelas tuan tanah baru.
Keempat, adalah kelompok pengusaha asli yang menjadi klient dari birokrasi. Kelompok ini tergantung oleh pengayoman Patronnya (birokrasi) dan tergantung pula oleh modal asing. Hidupnya tergantung oleh konsesi dan monopoli administrative. Kelompok pengusaha asli yang demikian dikenal kapitalisme klient. Bagi kapitalisme klient yang terdiri dari pengusaha asli pribumi, kalah bersaing dengan pengusaha Cina, dalam memperoleh kedudukan sosial ekonominya. Hal ini disebabkan pertama, sebagaian besar konsesi yang diperoleh secara politis telah diserahkan kepada kelompok usaha asing dan Cina. Kedua, klient lebih suka menjadi broker konsesi dari pada menggunakan konsesi itu sebagai modal usaha yang produktif. Ketiga, apabila sang patron (pengayom) jatuh, maka akan menghancurkan klient asli, seorang klient Cina mempunyai modal yang kuat, sehingga masih dapat bertahan. Oleh karena itu kedudukan kapitalisme klien yang asli sangatlah labil, sebab sangat tergantung kepada pejabat birokrasi yang mengayomi.
Penjelasan mengenai proses terbentuknya birokrasi militer melalui transformasi perekonomian, khususnya bentuk-bentuk kapitalisme, ternyata dapat melihat permasalahannya dengan lebih mendasar. Dominasi asing dalam bidang permodalan dan investasi, mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap jendral yang duduk dalam birokrasi, sehingga dapat dikatakan merupakan bagian integral dari kapitalisme. Selain para birokrat militer itu terikat pada joint venture dengan usaha asing dan Cina, namun juga meindungi partner usaha itu dengan membuat kebijakan-kebijakan yang menjamin kepentingannya.
Mengalirnya pabrik-pabrik asing dan Cina yang mempunyai modal kuat, telah mendesak kedalam sektor-sektor produksi tradisional yang menjadi usaha dari pengusaha asli Indonesia. Hal itu menimbulkan kecemburuan sosial, yang meletupkan protes sosial melalui demonstrasi-semonstrasi dan gerakan anti Cina. Selain itu muncul gerakan politik yang beroposisi kepada birokrasi militer, dalam hal ini pengusaha asli bekerjasama dengan politisi Islam menghadapi penguasa birokrasi militer yang dikuasai oleh kebanyakan Jawa-abangan. Di samping itu, kecemburuan sosial juga membangkitkan kalangan intelektual dan mahasiswa untuk menempatkan dirinya pada barisan oposisi, dalam menghadapi birokrat militer. Hal ini mempunyai latar belakang, diantaranya, pertama ketika kekuasaan politik jatuh ketangan militer, maka kaum intelektual yang dulunya berperan sebagai politisi, kemudian hanya dijadikan sebagai teknokrat dan penasehat. Peran tersebut merupakan pengabdian pada aliansi birokrat militer dan kepentingan asing serta Cina.
Akar budaya politik di Indonesia antara lain : Feodalisme, Kapitalisme, dan Fasisme, ternyata ikut mewarnai dinamika perkembangan politik di kemudian hari. Dari akar politik Feodal, memunculkan sistem patrimonial baru dalam pembagian kekuasaan, maupun pembagian perusahaan. Penguasa orde baru bersandar pada jaringan-jaringan pribadi, antara patron-klien serta penyukongnya. Masuknya kolonialisme Belanda dan Inggris di Indonesia, membawa pengaruh baru, yaitu kapitalisme birokrasi, yang mempunyai hubungan dengan modal asing. Di zaman orde baru timbul adanya penguasa-pengusaha, yang dapat mempengaruhi dinamika politik negara.
Walaupun masih perlu diadakan penelitian terhadap akar budaya politik fasisme, namun indikator adanya sikap-fasis itu, antara lain : Alergi terhadap kritik dan oposisi; bersikap keras tanpa kompromi terhadap lawan politik penguasa dan sebagainya. Bila dilihat dari pendekatan transformasi ekonomi, akan tampak peranan kapitalisme dalam proses pembentukan struktur birokrasi militer di Indonesia. Awal dari rintisan pembentukan birokrasi militer, ialah diawali dari peristiwa 17 Oktober 1952. Dalam peristiwa ini militer menuntut hak tidak hanya sebagai alat negara, namun juga sebagai anggota birokrasi yang ikut menentukan kehidupan negara. Adanya nasionalisasi perusahaan-perusahaan dan perkebunan Belanda, tahun 1957-1958, militer mengambil peranan untuk ikut menguasai perusahaan dan perkebunan. Mulai dari itu militer mengembangkan tugasnya di bidang usaha, dan lebih jauh mendirikan perusahaan-perusahaan sendiri yang dilakukan oleh setiap angkatan, maupun pribadi. Setelah tahun 1965, memasuki era orde baru, militer mulai menguasai birokrasi pemerintahan di Indonesia. Birokrasi militer itu tidak hanya ditingkat pusat, namun sampai juga di daerah-daerah. Muncul pameo dalam masyarakat, bahwa republik sedang mengadakan “penghijauan” yang artinya aparatur birokrasi diusahakan dipegang oleh militer.
Strategi ekonomi Orde Baru ialah mengarahkan pertumbuhan ekonomi yang maksimal dengan menggunakan modal asing dan teknologi asing secara besar-besaran. Dalam masalah pengelolaan modal asing dan modal Cina, kaum birokrat militer menggunakan kesempatan mengambil keuntungan, yaitu dengan memberikan konsesi, lisensi dan kontrak. Dengan menggunakan kekuasaan dan jabatan, birokrat militer menguasai pusat-pusat perdagangan, mereka mendapatkan bagian keuntungan dari modal asing dan Cina.
Keuntungan dari modal asing dan modal Cina itu juga dipergunakan untuk memperkuat struktur kekuasaan birokrasi militer. Oleh karena itu ada simbiose mutualisme antara modal asing dan modal Cina dengan birokrasi militer. Penguasa birokrasi militer selalu berusaha menciptakan stabilitas nasional, untul menjamin keselamatan modal asing dan modal Cina. Sebaliknya pengusaha pemilik modal asing dan Cina memberikan keuntungan kepada para birokrat militer.
Kelompok usahawan birokrat ternyata tidak berkepentingan dan tidak mampu mengumpulkan modal produktif, sehingga hanya berfungsi sebagai makelar modal asing dan Cina. Hal ini sangat disayangkan, sebab ketidakkuatannya mengumpulkan modal produktif untuk dipegang oleh pemerintah, ini menandakan kekuatan permodalan negara masih dalam kondisi lemah. Akibat dari kondisi permodalan negara atau yang dipegang oleh birokrasi secara resmi itu lemah, maka akan melemahkan kedudukan birokrasi itu sendiri dan perekonomian negara. Apabila pihak penanam modal asing dan Cina itu memutuskan tidak menanamkan modalnya lagi di Indonesia atau membawa lari modalnya keluar negeri, maka posisi birokrasi akan goyah, dan negara juga dapat mengalami krisis moneter. Agar perekonomian negara dan perekonomian rakyat kuat, maka diperlukan pendekatan terhadap pengusaha asli. Pengusaha asli dapat diharapkan mengumpulkan modal produktif, yang dapat menyangga (sebagai pelopor) perekonomian negara dan perekonomian rakyat. Seharusnya para birokrat dan pengusaha militer mulai menyadari, perlunya ada pendekatan dengan pengusaha asli. Disertai pengembangan modal pengusaha asli, sehingga sewaktu-waktu modal asing dan Cina lari, dalam negeri masih mempunyai modal yang produktif. [db]
Artikel ini pernah dipresentasikan pada Konferensi Sejarah Nasional VII, November 2006.
Korupsi dan Pembangunan Ekonomi Indonesia
Paper ini akan membahas secara ringkas, bagaimana korupsi mempengaruhi pembangunan ekonomi di Indonesia?. Strategi apa yang dapat dilakukan untuk meminimalisir praktek korupsi tersebut?, dan bagaimana multiplier effect bagi efesiensi dan efektifitas pembangunan ekonomi di Indonesia?. Gaung pemberantasan korupsi seakan menjadi senjata ampuh untuk dibubuhkan dalam teks pidato para pejabat Negara, bicara seolah ia bersih, anti korupsi. Masyarakat melalui LSM dan Ormas pun tidak mau kalah, mengambil mamfaat dari kampanye anti korupsi di Indonesia. Pembahasan mengenai strategi pemberantasan korupsi dilakakukan dibanyak ruang seminar, booming anti korupsi, begitulah tepatnya. Meanstream perlawanan terhadap korupsi juga dijewantahkan melalui pembentukan lembaga Adhoc, Komisi Anti Korupsi (KPK). Peraturan perundang-undangan (legislation) yang merupakan wujud dari politik hukum institusi Negara dirancang dan disahkan sebagai undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Secara parsial, dapat disimpulkan pemerintah dan bangsa Indonesia serius melawan dan memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini. Tebang pilih. Begitu kira-kira pendapat beberapa praktisi dan pengamat hukum terhadap gerak pemerintah dalam menangani kasus korupsi akhir-akhir ini. Celah kelemahan hukum selalu menjadi senjata ampuh para pelaku korupsi untuk menghindar dari tuntutan hukum. Kasus Korupsi mantan Presiden Soeharto, contoh kasus yang paling anyar yang tak kunjung memperoleh titik penyelesaian. Perspektif politik selalu mendominasi kasus-kasus hukum di negeri sahabat Republik BBM ini. Padahal penyelesaiaan kasus-kasus korupsi besar seperti kasus korupsi Soeharto dan kroninya, dana BLBI dan kasus-kasus korupsi besar lainnya akan mampu menstimulus program pembangunan ekonomi di Indonesia. Memahami Makna Tindak Pidana Korupsi Jeremy Pope dalam bukunya Confronting Coruption: The Element of National Integrity System, menjelaskan bahwa korupsi merupakan permasalahan global yang harus menjadi keprihatinan semua orang. Praktik korupsi biasanya sejajar dengan konsep pemerintahan totaliter, diktator –yang meletakkan kekuasaan di tangan segelintir orang. Namun, tidak berarti dalam sistem sosial-politik yang demokratis tidak ada korupsi bahkan bisa lebih parah praktek korupsinya, apabila kehidupan sosial-politiknya tolerasi bahkan memberikan ruang terhadap praktek korupsi tumbuh subur. Korupsi juga tindakan pelanggaran hak asasi manusia, lanjut Pope. Menurut Dieter Frish, mantan Direktur Jenderal Pembangunan Eropa. Korupsi merupakan tindakan memperbesar biaya untuk barang dan jasa, memperbesar utang suatu Negara, dan menurunkan standar kualitas suatu barang. Biasanya proyek pembangunan dipilih karena alasan keterlibatan modal besar, bukan pada urgensi kepentingan publik. Korupsi selalu menyebabkan situasi sosial-ekonomi tak pasti (uncertenly). Ketidakpastian ini tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dan peluang bisnis yang sehat. Selalu terjadi asimetris informasi dalam kegiatan ekonomi dan bisnis. Sektor swasta sering melihat ini sebagai resiko terbesar yang harus ditanggung dalam menjalankan bisnis, sulit diprediksi berapa Return of Investment (ROI) yang dapat diperoleh karena biaya yang harus dikeluarkan akibat praktek korupsi juga sulit diprediksi. Akhiar Salmi dalam makalahnya menjelaskan bahwa korupsi merupakan perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Dalam makalahnya, Salmi juga menjelaskan makna korupsi menurut Hendry Campbell Black yang menjelaskan bahwa korupsi “ An act done with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and the right of others. The act of an official or fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit for himself or for another person, contrary to duty and the right of others.” Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, pasal 1 menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi sebagaimana maksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Jadi perundang-undangan Republik Indonesia mendefenisikan korupsi sebagai salah satu tindak pidana. Mubaryanto[1], Penggiat ekonomi Pancasila, dalam artikelnya menjelaskan tentang korupsi bahwa, salah satu masalah besar berkaitan dengan keadilan adalah korupsi, yang kini kita lunakkan menjadi “KKN”. Perubahan nama dari korupsi menjadi KKN ini barangkali beralasan karena praktek korupsi memang terkait koneksi dan nepotisme. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa dampak “penggantian” ini tidak baik karena KKN ternyata dengan kata tersebut praktek korupsi lebih mudah diteleransi dibandingkan dengan penggunaan kata korupsi secara gamblang dan jelas, tanpa tambahan kolusi dan nepotisme. Korupsi dan Politik Hukum EkonomiKorupsi merupakan permasalah mendesak yang harus diatasi, agar tercapai pertumbuhan dan geliat ekonomi yang sehat. Berbagai catatan tentang korupsi yang setiap hari diberitakan oleh media massa baik cetak maupun elektronik, tergambar adanya peningkatan dan pengembangan model-model korupsi. Retorika anti korupsi tidak cukup ampuh untuk memberhentikan praktek tercela ini. Peraturan perundang-undang yang merupakan bagian dari politik hukum yang dibuat oleh pemerintah, menjadi meaning less, apabila tidak dibarengi dengan kesungguhan untuk manifestasi dari peraturan perundang-undangan yang ada. Politik hukum tidak cukup, apabila tidak ada recovery terhadap para eksekutor atau para pelaku hukum. Konstelasi seperti ini mempertegas alasan dari politik hukum yang dirancang oleh pemerintah tidak lebih hanya sekedar memenuhi meanstream yang sedang terjadi. Dimensi politik hukum yang merupakan “kebijakan pemberlakuan” atau “enactment policy”, merupakan kebijakan pemberlakuan sangat dominan di Negara berkembang, dimana peraturan perundang-undangan kerap dijadikan instrumen politik oleh pemerintah, penguasa tepatnya, untuk hal yang bersifat negatif atau positif[2]. Dan konsep perundang-undangan dengan dimensi seperti ini dominan terjadi di Indonesia, yang justru membuka pintu bagi masuknya praktek korupsi melalui kelemahan perundang-undangan. Lihat saja Undang-undang bidang ekonomi hasil analisis Hikmahanto Juwana, seperti Undang-undang Perseroan Terbatas, Undang-undang Pasar Modal, Undang-undang Hak Tanggungan, UU Dokumen Perusahaan, UU Kepailitan, UU Perbankan, UU Persaingan Usaha, UU Perlindungan Konsumen, UU Jasa Konstruksi, UU Bank Indonesia, UU Lalu Lintas Devisa, UU Arbitrase, UU Telekomunikasi, UU Fidusia, UU Rahasia Dagang, UU Desain Industri dan banyak UU bidang ekonomi lainnya[3]. Hampir semua peraturan perundang-undangan tersebut memiliki dimensi kebijakan politik hukum “ kebijakan pemberlakuan”, dan memberikan ruang terhadap terjadinya praktek korupsi. Fakta yang terjadi menunjukkan bahwa Negara-negara industri tidak dapat lagi menggurui Negara-negara berkembang soal praktik korupsi, karena melalui korupsilah sistem ekonomi-sosial rusak, baik Negara maju dan berkembang. Bahkan dalam bukunya “The Confesion of Economic Hit Man” John Perkin mempertegas peran besar Negara adidaya seperti Amerika Serikat melalui lembaga donor seperti IMF, Bank Dunia dan perusahaan Multinasional menjerat Negara berkembang seperti Indonesia dalam kubangan korupsi yang merajalela dan terperangkap dalam hutang luar negeri yang luar biasa besar, seluruhnya dikorup oleh penguasa Indonesia saat itu. Hal ini dilakukan dalam melakukan hegemoni terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia, dan berhasil. Demokratisasi dan Metamorfosis Korupsi Pergeseran sistem, melalui tumbangnya kekuasaan icon orde baru, Soeharto. Membawa berkah bagi tumbuhnya kehidupan demokratisasi di Indonesia. Reformasi, begitu banyak orang menyebut perubahan tersebut. Namun sayang reformasi harus dibayar mahal oleh Indonesia melalui rontoknya fondasi ekonomi yang memang “Buble Gum” yang setiap saat siap meledak itu. Kemunafikan (Hipocrasy) menjadi senjata ampuh untuk membodohi rakyat[4]. Namun, apa mau dinyana rakyat tak pernah sadar, dan terbuai oleh lantunan lembut lagu dan kata tertata rapi dari hipocrasi yang lahir dari mulut para pelanjut cita-cita dan karakter orde baru. Dulu korupsi tersentralisasi di pusat kekuasaan, seiring otonomi atau desentralisasi daerah yang diikuti oleh desentralisasi pengelolaan keuangan daerah[5], korupsi mengalami pemerataan dan pertumbuhan yang signifikan. Pergeseran sistem yang penulis jelaskan, diamini oleh Susan Rose-Ackerman, yang melihat kasus di Italy, Rose menjelaskan demokratisasi dan pasar bebas bukan satu-satunya alat penangkal korupsi, pergeseran pemerintah otoriter ke pemerintahan demokratis tidak serta merta mampu menggusur tradisi suap-menyuap. Korupsi ada di semua sistem sosial –feodalisme, kapitalisme, komunisme dan sosialisme. Dibutuhkan Law effort sebagai mekanisme solusi sosial untuk menyelesaikan konflik kepentingan, penumpuk kekayaan pribadi, dan resiko suap-menyuap. Harus ada tekanan hukum yang menyakitkan bagi koruptor. Korupsi di Indonesia telah membawa disharmonisasi politik-ekonomi-sosial, grafik pertumbuhan jumlah rakyat miskin terus naik karena korupsi. Dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, praktek korupsi makin mudah ditemukan dipelbagai bidang kehidupan. Pertama, karena melemahnya nilai-nilai sosial, kepentingan pribadi menjadi pilihan lebih utama dibandingkan kepentingan umum, serta kepemilikan benda secara individual menjadi etika pribadi yang melandasi perilaku sosial sebagian besar orang. Kedua, tidak ada transparansi dan tanggung gugat sistem integritas public. Biro pelayanan publik justru digunakan oleh pejabat publik untuk mengejar ambisi politik pribadi, semata-mata demi promosi jabatan dan kenaikan pangkat. Sementara kualitas dan kuantitas pelayanan publik, bukan prioritas dan orientasi yang utama. Dan dua alasan ini menyeruak di Indonesia, pelayanan publik tidak pernah termaksimalisasikan karena praktik korupsi dan demokratisasi justru memfasilitasi korupsi. Korupsi dan Ketidakpastian Pembangunan Ekonomi Pada paragraf awal penulis jelaskan bahwa korupsi selalu mengakibatkan situasi pembangunan ekonomi tidak pasti. Ketidakpastian ini tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dan bisnis yang sehat. Sektor swasta sulit memprediksi peluang bisnis dalam perekonomian, dan untuk memperoleh keuntungan maka mereka mau tidak mau terlibat dalam konspirasi besar korupsi tersebut. High cost economy harus dihadapi oleh para pebisnis, sehingga para investor enggan masuk menanamkan modalnya disektor riil di Indonesia, kalaupun investor tertarik mereka prepare menanamkan modalnya di sektor financial di pasar uang. Salah satu elemen penting untuk merangsang pembangunan sektor swasta adalah meningkatkan arus investasi asing (foreign direct investment). Dalam konteks ini korupsi sering menjadi beban pajak tambahan atas sektor swasta. Investor asing sering memberikan respon negatif terhadap hali ini(high cost economy). Indonesia dapat mencapai tingkat investasi asing yang optimal, jika Indonesia terlebih dahulu meminimalisir high cost economy yang disebabkan oleh korupsi. Praktek korupsi sering dimaknai secara positif, ketika perilaku ini menjadi alat efektif untuk meredakan ketegangan dan kebekuan birokrasi untuk menembus administrasi pemerintah dan saluran politik yang tertutup. Ketegangan politik antara politisi dan birokrat biasanya efektif diredakan melalui praktek korupsi yang memenuhi kepentingan pribadi masing-masing. Pararel dengan pendapat Mubaryanto, yang mengatakan “Ada yang pernah menyamakan penyakit ekonomi inflasi dan korupsi. Inflasi, yang telah menjadi hiperinflasi tahun 1966, berhasil diatasi para teknokrat kita. Sayangnya sekarang tidak ada tanda-tanda kita mampu dan mau mengatasi masalah korupsi, meskipun korupsi sudah benar-benar merebak secara mengerikan. Rupanya masalah inflasi lebih bersifat teknis sehingga ilmu ekonomi sebagai monodisiplin relatif mudah mengatasinya. Sebaliknya korupsi merupakan masalah sosial-budaya dan politik, sehingga ilmu ekonomi sendirian tidak mampu mengatasinya. Lebih parah lagi ilmu ekonomi malah cenderung tidak berani melawan korupsi karena dianggap “tidak terlalu mengganggu pembangunan”. Juga inflasi dianggap dapat “lebih menggairahkan” pembangunan, dapat “memperluas pasar” bagi barang-barang mewah, yang diproduksi. “Dunia usaha memang nampak lebih bergairah jika ada korupsi”! Apapun alasannya, korupsi cenderung menciptakan inefisiensi dan pemborosan sektor ekonomi selalu terjadi. Output yang dihasilkan tidak sebanding dengan nilai yang dikeluarkan, ancaman inflasi selalu menyertai pembangunan ekonomi. GDP turun drastis, nilai mata uang terus tergerus. Akibat efek multiplier dari korupsi tersebut. Mubaryanto menjelaskan, Kunci dari pemecahan masalah korupsi adalah keberpihakan pemerintah pada keadilan. Korupsi harus dianggap menghambat pewujudan keadilan sosial, pembangunan sosial, dan pembangunan moral. Jika sekarang korupsi telah menghinggapi anggota-anggota legislatif di pusat dan di daerah, bahayanya harus dianggap jauh lebih parah karena mereka (anggota DPR/DPRD) adalah wakil rakyat. Jika wakil-wakil rakyat sudah “berjamaah” dalam berkorupsi maka tindakan ini jelas tidak mewakili aspirasi rakyat, Jika sejak krisis multidimensi yang berawal dari krismon 1997/1998 ada anjuran serius agar pemerintah berpihak pada ekonomi rakyat (dan tidak lagi pada konglomerat), dalam bentuk program-program pemberdayaan ekonomi rakyat, maka ini berarti harus ada keadilan politik. Keadilan ekonomi dan keadilan sosial sejauh ini tidak terwujud di Indonesia karena tidak dikembangkannya keadilan politik. Keadilan politik adalah “aturan main” berpolitik yang adil, atau menghasilkan keadilan bagi seluruh warga negara. Kita menghimbau para filosof dan ilmuwan-ilmuwan sosial, untuk bekerja keras dan berpikir secara empirik-induktif, yaitu selalu menggunakan data-data empirik dalam berargumentasi, tidak hanya berpikir secara teoritis saja, lebih-lebih dengan selalu mengacu pada teori-teori Barat. Dengan berpikir empirik kesimpulan-kesimpulan pemikiran yang dihasilkan akan langsung bermanfaat bagi masyarakat dan para pengambil kebijakan masa sekarang. Misalnya, adilkah orang-orang kaya kita hidup mewah ketika pada saat yang sama masih sangat banyak warga bangsa yang harus mengemis sekedar untuk makan. Negara kaya atau miskin sama saja, apabila tidak ada itikad baik untuk memberantas praktek korup maka akan selalu mendestruksi perekonomian dalam jangka pendek maupun panjang. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa skandal ekonomi dan korupsi sering terjadi dibanyak Negara kaya dan makmur dan juga terjadi dari kebejatan moral para cleptocrasy di Negara-negara miskin dan berkembang seperti Indonesia. Pembangunan ekonomi sering dijadikan alasan untuk menggadaikan sumber daya alam kepada perusahaan multinasional dan Negara adi daya yang didalamnya telah terkemas praktik korupsi untuk menumpuk pundit-pundi harta bagi kepentingan politik dan pribadi maupun kelompoknya. Korupsi dan DesentralisasiDesentralisasi atau otonomi daerah merupakan perubahan paling mencolok setelah reformasi digulirkan. Desentralisasi di Indonesia oleh banyak pengamat ekonomi merupakan kasus pelaksanaan desentralisasi terbesar di dunia, sehingga pelaksanaan desentralisasi di Indonesia menjadi kasus menarik bagi studi banyak ekonom dan pengamat politik di dunia. Kompleksitas permasalahan muncul kepermukaan, yang paling mencolok adalah terkuangnya sebagian kasus-kasus korupsi para birokrat daerah dan anggota legislatif daerah. Hal ini merupakan fakta bahwa praktek korupsi telah mengakar dalam kehidupan sosial-politik-ekonomi di Indonesia. Pemerintah daerah menjadi salah satu motor pendobrak pembangunan ekonomi. Namun, juga sering membuat makin parahnya high cost economy di Indonesia, karena munculnya pungutan-pungutan yang lahir melalui Perda (peraturan daerah) yang dibuat dalam rangka meningkatkan PAD (pendapatan daerah) yang membuka ruang-ruang korupsi baru di daerah. Mereka tidak sadar, karena praktek itulah, investor menahan diri untuk masuk ke daerahnya dan memilih daerah yang memiliki potensi biaya rendah dengan sedikit praktek korup. Akibat itu semua, kemiskinan meningkat karena lapangan pekerjaan menyempit dan pembangunan ekonomi di daerah terhambat. Boro-boro memacu PAD. Terdapat beberapa bobot yang menentukan daya saing investasi daerah. Pertama, faktor kelembagaan. Kedua, faktor infrastruktur. Ketiga, faktor sosial – politik. Keempat, faktor ekonomi daerah. Kelima, faktor ketenagakerjaan. Hasil penelitian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menjelaskan pada tahun 2002 faktor kelembagaan[6], dalam hal ini pemerintah daerah sebagi faktor penghambat terbesar bagi investasi hal ini berarti birokrasi menjadi faktor penghambat utama bagi investasi yang menyebabkan munculnya high cost economy yang berarti praktek korupsi melalui pungutan-pungutan liar dan dana pelicin marak pada awal pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah tersebut. Dan jelas ini menghambat tumbuhnya kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan di daerah karena korupsi di birokrasi daerah. Namun, pada tahun 2005 faktor penghambat utama tersebut berubah. Kondisi sosial-politik dominan menjadi hambatan bagi tumbuhnya investasi di daerah[7]. Pada tahun 2005 banyak daerah melakukan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung yang menyebabkan instabilisasi politik di daerah yang membuat enggan para investor untuk menanamkan modalnya di daerah. Dalam situasi politik seperti ini, investor lokal memilih menanamkan modalnya pada ekspektasi politik dengan membantu pendanaan kampanye calon-calon kepala daerah tertentu, dengan harapan akan memperoleh kemenangan dan memperoleh proyek pembangunan di daerah sebagai imbalannya. Kondisi seperti ini tidak akan menstimulus pembangunan ekonomi, justru hanya akan memperbesar pengeluaran pemerintah (government expenditure) karena para investor hanya mengerjakan proyek-proyek pemerintah tanpa menciptakan output baru diluar pengeluaran pemerintah (biaya aparatur negara). Bahkan akan berdampak pada investasi diluar pengeluaran pemerintah, karena untuk meningkatkan PAD-nya mau tidak mau pemerintah daerah harus menggenjot pendapatan dari pajak dan retrebusi melalui berbagai Perda (peraturan daerah) yang menciptakan ruang bagi praktek korupsi. Titik tolak pemerintah daerah untuk memperoleh PAD yang tinggi inilah yang menjadi penyebab munculnya high cost economy yang melahirkan korupsi tersebut karena didukung oleh birokrasi yang njelimet. Seharusnya titik tolak pemerintah daerah adalah pembangunan ekonomi daerah dengan menarik investasi sebesar-besarnya dengan merampingkan birokrasi dan memperpendek jalur serta jangka waktu pengurusan dokumen usaha, serta membersihkan birokrasi dari praktek korupsi. Peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah), pengurangan jumlah pengangguran dan kemiskinan pasti mengikuti. Melawan Korupsi demi Pembangunan EkonomiSelain menghambat pertumbuhan ekonomi, korupsi juga menghambat pengembangan sistem pemerintahan demokratis. Korupsi memupuk tradisi perbuatan yang menguntungkan diri sendiri atau kelompok, yang mengesampingkan kepentingan publik. Dengan begitu korupsi menutup rapat-rapat kesempatan rakyat lemah untuk menikmati pembangunan ekonomi, dan kualitas hidup yang lebih baik. Pendekatan yang paling ampuh dalam melawan korupsi di Indonesia. Pertama, mulai dari meningkatkan standar tata pemerintahan – melalui konstruksi integritas nasional. Tata pemerintahan modern mengedepankan sistem tanggung gugat, dalam tatanan seperti ini harus muncul pers yang bebas[8] dengan batas-batas undang-undang yang juga harus mendukung terciptanya tata pemerintah dan masyarakat yang bebas dari korupsi. Demikian pula dengan pengadilan. Pengadilan yang merupakan bagian dari tata pemerintahan, yudikatif, tidak lagi menjadi hamba penguasa. Namun, memiliki ruang kebebasan menegakkan kedaulatan hukum dan peraturan[9]. Dengan demikian akan terbentuk lingkaran kebaikan yang memungkin seluruh pihak untuk melakukan pengawasan, dan pihak lain diawasi. Namun, konsep ini penulis akui sangat mudah dituliskan atau dikatakan daripada dilaksanakan. Setidaknya dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk membangun pilar-pilar bangunan integritas nasional yang melakukan tugas-tugasnya secara efektif, dan berhasil menjadikan tindakan korupsi sebagai perilaku yang beresiko sangat tinggi dengan hasil yang sedikit[10]. Konstruksi integritas nasional, ibarat Masjidil Aqsha yang suci yang ditopang oleh pilar-pilar peradilan, parlemen, kantor auditor-negara dan swasta, ombudsman, media yang bebas dan masyarakat sipil yang anti korupsi. Diatas bangunan nan suci itu ada pembangunan ekonomi demi mutu kehidupan yang lebih baik, tatanan hukum yang ideal, kesadaran publik dan nilai-nilai moral yang kokoh memayungi integritas nasional dari rongrongan korupsi yang menghambat pembangunan yang paripurna. Kedua, hal yang paling sulit dan fundamental dari semua perlawanan terhadap korupsi adalah bagaimana membangun kemauan politik (political will). Kemauan politik yang dimaksud bukan hanya sekedar kemauan para politisi dan orang-orang yang berkecimpung dalam ranah politik. Namun, ada yang lebih penting sekedar itu semua. Yakni, kemauan politik yang termanifestasikan dalam bentuk keberanian yang didukung oleh kecerdasan sosial masyarakat sipil atau warga Negara dari berbagai elemen dan strata sosial. Sehingga jabatan politik tidak lagi digunakan secara mudah untuk memperkaya diri, namun sebagai tangggung jawab untuk mengelola dan bertanggung jawab untuk merumuskan gerakan mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Biasanya resiko politik meruapakan hambatan utama dalam melawan gerusan korupsi terhadap pembangunan ekonomi nasional. Oleh sebab itu, mengapa kesadaran masyarakat sipil penting?. Dalam tatanan pemerintahan yang demokratis, para politisi dan pejabat Negara tergantung dengan suara masyarakat sipil. Artinya kecerdasan sosial-politik dari masyarakat sipil-lah yang memaksa para politisi dan pejabat Negara untuk menahan diri dari praktek korupsi. Masyarakat sipil yang cerdas secara sosial-politik akan memilih pimpinan (politisi) dan pejabat Negara yang memiliki integritas diri yang mampu menahan diri dari korupsi dan merancang kebijakan kearah pembangunan ekonomi yang lebih baik. Melalui masyarakat sipil yang cerdas secara sosial-politik pula pilar-pilar peradilan dan media massa dapat diawasi sehingga membentuk integritas nasional yang alergi korupsi. Ketika Konstruksi Integritas Nasional berdiri kokoh dengan payung kecerdasan sosial-politik masyarakat sipil, maka pembangunan ekonomi dapat distimulus dengan efektif. Masyarakat sipil akan mendorong pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang memadai.masyarakat sipil pula yang memberi ruang dan menciptakan ruang pembangunan ekonomi yang potensial. Masyarakat melalui para investor akan memutuskan melakukan investasi yang sebesar-besarnya karena hambatan ketidakpastian telah hilang oleh bangunan integritas nasional yang kokoh. Jumlah output barang dan jasa terus meningkat karena kondusifnya iklim investasi di Indonesia, karena kerikil-kerikil kelembagaan birokrasi yang njelimet dan korup telah diminimalisir, kondisi politik stabil dan terkendali oleh tingginya tingkat kecerdasan sosial-politik masyarakat sipil. Para investor mampu membuat prediksi ekonomi dengan ekspektasi keuntungan tinggi. Sehingga dengan begitu pembangunan ekonomi akan memberikan dampak langsung pada pengurangan jumlah pengangguran dan masyarakat miskin, peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) masing-masing daerah, peningkatan GDP dan pemerintah akan mampu membangun sisten jaminan sosial warganya melalui peningkatan kualitas pendidikan dan layanan kesehatan yang memberikan dampak langsung pada peningkatan kecerdasan masyarakat sipil. Penutup Merangkai kata untuk perubahan memang mudah. Namun, melaksanakan rangkaian kata dalam bentuk gerakan terkadang teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar korupsi yang menjadi penghambat utama lambatnya pembangunan ekonomi nan paripurna di Indonesia. Korupsi yang telah terlalu lama menjadi wabah yang tidak pernah kunjung selesai, karena pembunuhan terhadap wabah tersebut tidak pernah tepat sasaran ibarat “ yang sakit kepala, kok yang diobati tangan “. Pemberantasan korupsi seakan hanya menjadi komoditas politik, bahan retorika ampuh menarik simpati. Oleh sebab itu dibutuhkan kecerdasan masyarakat sipil untuk mengawasi dan membuat keputusan politik mencegah makin mewabahnya penyakit kotor korupsi di Indonesia. Tidak mudah memang. Bahan Bacaan Akhiar Salmi, Paper 2006, “Memahami UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, MPKP, FE,UI. Harian Kompas, 13 juni 2006, Gramedia Hikmahanto Juwana, Paper 2006, “ Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia”, MPKP, FE.UI. Mubaryanto, Artikel, “ Keberpihakan dan Keadilan”, Jurnal Ekonomi Rakyat, UGM, 2004 Jeremy Pope,” Confronting Corruption: The Element of National Integrity System”, Transparency International, 2000. Robert A Simanjutak,” Implementasi Desentralisasi Fiskal:Problema, Prospek, dan Kebijakan”, LPEM UI, 2003 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. [1] Almarhum Prof. Dr. Mubaryanto, merupakan Guru Besar Universitas Gajah Mada, yang mengabdikan dirinya pada pengkajian ekonomi rakyat melalui konsepsi ekonomi pancasila, yang tetap ia yakini hingga akhir hayatnya. [2] Hal positif menurut Juwana, penggunaan dari UU oleh pemerintah adalah dalam rangka memajukan kehidupan politik warga Negara, memperbaiki perekonomian dan lain sebagainya. Sementara yang bersifat negative terjadi banyak di Negara berkembang yang menganut pemerintahan otoriter atau dictatorial. UU dengan konsep ini dijadikan semacam legitimasi bagi kekuasaan yang memunculkan istilah Rule by Law dalam pengertian negative dan bukan Rule of Law.
[3] Lihat Makalah ,Hikmahanto Juwana, “Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia”, FH.UI. [4] yang lebih menyedihkan, kemunafikan anti korupsi lahir banyak di kelompok-kelompok penjaga moral bangsa seperti Agamawan dan Pendidik. Lihat saja korupsi di Departemen Agama, dan Departemen Pendidikan. Bahkan kelompok-kelompok agama menjadi merupakan entitas paling munafik terhadap praktek korupsi ini. [5] Lihat UU tentang Pemerintah Daerah, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. [6] Lihat harian Kompas, 13 juni 2006 [7] ibid [8] Dengan asumsi pers yang bebas juga harus dibangun dari “kejujuran” yang anti terhadap praktik korupsi, seperti suap dan tidak menjadikan posisinya sebagai penekan untuk memperoleh keuntungan pribadi. Di Indonesia kasus pers seperti ini jamak. [9] Hampir seluruh dimensi tata pemerintah Indonesia memiliki kecenderungan perilaku korup. Harus ada revolusi besar untuk melakukan perubahan signifikan yang men-delete kecenderungan tersebut. [10] Rancangan peraturan perundang-undang yang menghukum “mati” dan ancaman berat lainnya setidaknya bisa menjadi salah satu bentuk resiko tinggi tersebut, dengan catatan penegak hukum konsisiten terhadap aturan hukum tersebut. Shock therapy yang dilakukan pemerintah Cina rasanya perlu ditiru. Dibutuhkan political will dari banyak pihak dalam tata pemerintah untuk mewujudkan integritas nasional ini. Kebijakan ekstrim dan radikal diperlukan untuk melawan praktek korupsi di Indonesia. Misalnya; mengambil alih seluruh harta hasil korupsi, menghukum koruptor untuk melakukan pengabdian dalam jangka waktu panjang (seumur hidup) di daerah terpencil untuk memberikan pelatihan dan pendidikan di daerah terpencil dengan pengawasan ketat aparat hukum, karena biasanya para koruptor ini memiliki pendidikan dan keahlian mumpuni di bidangnya.
POLITIK EKONOMI REFORMASI DAN MEKANISME PELAKSANAANNYA
Pada pertengahan Februari 2002, wakil presiden Hamzah Haz menyatakan bahwa pemerintah sedang merancang paket kebijakan pemulihan ekonomi yang menyeluruh, yang dapat menggerakkan sektor riil dan sektor keuangan, dan menjadi stimulus untuk menuju pemulihan ekonomi (Kompas, 14 Februari 2002). Pelaksana Tugas Harian Sekretaris Wapres, La Ode M. Kamaluddin ditunjuk oleh Wapres sebagai Ketua Koordinator Penyusunan Paket Pemulihan Ekonomi Indonesia. Setelah mengundang banyak ahli, pengamat ekonomi dan para menteri kabinet, tanggal 4 Maret 2002 yang lalu, La Ode menyatakan bahwa Paket Kebijakan Pemulihan Ekonomi Indonesia yang merupakan artikulasi gagasan Wapres Hamzah Haz telah selesai disusun dan akan diajukan dalam sidang kabinet tanggal 7 Maret 2002, setelah sebelumnya didiskusikan
bersama ketiga Menko. Setelah itu baru dikukuhkan dalam bentuk Keppres. (Koran Tempo, 5 Maret 2002).
Berbagai pendapat telah meluncur menanggapi konsep Wapres tersebut. Yang berpendapat bahwa Indonesia belum mempunyai konsep pemulihan ekonomi, tentu saja menyambut baik usaha penyusunan paket pemulihan ekonomi dari Wapres ini. Ekonom UGM, Sri Ardiningsih berpendapat lain, mengatakan "sebaiknya (konsep alternatif) diletakkan dalam kerangka kerja kabinet, sehingga tidak memunculkan dualisme dan perpecahan lebih parah." (Bisnis Indonesia, 2 Maret 2002). Kita sudah mempunyai konsep pemulihan ekonomi yang menyeluruh yang telah mempunyai kekuatan hukum dengan
diundangkannya Propenas menjadi UU No. 25 Tahun 2000. Oleh karena itu, membuat konsep pemulihan ekonomi menyeluruh seperti yang dikerjakan kantor Wapres hanya
akan menimbulkan dualisme kebijakan dan perpecahan dalam dalam pelaksanaannya. Hal ini juga tidak sesuai dengan tatacara penentuan kebijakan dasar dalam ketatanegaraan kita. Selain itu, adanya konsep pemulihan ekonomi menyeluruh yang disusun oleh kantor Wapres secara tidak langsung berarti menegasi TAP MPR RI 1999 dan Propenas yang sudah menjadi Undang-undang tersebut. Yang diperlukan hanyalah implementasi dari
Propenas, bukan kebijakan pemulihan ekonomi menyeluruh.
Politik Ekonomi Orba
Atas anjuran dan dukungan lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF serta negara-negara kreditor Indonesia yang tergabung dalam CGI (dulu IGGI), pemerintah orde baru melaksanakan teori pembangunan "mengejar pertumbuhan tinggi, dan pemerataan terjadi melalui 'trickle down effect' ". Untuk mencapai pertumbuhan tinggi, pemerintah orba memberikan segala kemudahan seperti perizinan, perlindungan bea masuk, kredit bank, peruntukkan lahan dsbnya untuk mendukung perkembangan
usaha besar swasta yang menjadi kroni penguasa. Bahkan memberikan monopoli
beberapa jenis komoditi kepada pengusaha kroni ini yang sangat merugikan rakyat banyak karena terpaksa membeli komoditi tertentu dengan harga tinggi yang ditetapkan oleh pengusaha pemilik monopoli ini. Tahun 1986 pemerintah orba melaksanakan liberalisasi sektor keuangan yang memberi kemudahan pendirian bank swasta, sehingga bermunculan banyak bank-bank swasta besar yang menjadi kroni penguasa ini. Liberalisasi sektor keuangan yang dalam ketentuannya dimaksudkan dapat berperan menyerap dana masyarakat untuk disalurkan kepada usaha-usaha yang produktif, telah dimanfaatkan oleh para pengusaha kroni ini hanya untuk mengembangkan kelompoknya sendiri dengan
cara melanggar ketentuan Bank Indonesia dalam hal BMPK (Batas Maksimal Penyaluran Kredit). Sejak itu usaha besar yang menjadi kroni penguasa ini berubah menjadi usaha konglomerasi yang oleh pemerintah Orba dinyatakan sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ketika krisis keuangan melanda Indonesia, mantan presiden Suharto malah menginstruksikan Bank Indonesia memberikan dana talangan kepada bank-bank konglomerat ini yang jumlahnya mencapai Rp 135 trilyun lebih, sehingga lebih memperparah krisis keuangan Indonesia.
Krisis ekonomi tahun 1997 telah membuktikan bahwa politik ekonomi mengatrol usaha besar yang menjadi kroni penguasa dengan segala fasilitas dari negara agar dapat menjadi lokomotif penggerak roda perekonomian Indonesia bukanlah jalan yang tepat bagi Indonesia. Kebijakan ini telah mendatangkan malapetaka yang sangat besar dan kemelaratan yang mengerikan bagi sebagian besar rakyat Indonesia.
Politik Ekonomi Reformasi Menurut TAP MPR RI
Gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa dalam situasi krisis ekonomi berhasil mendesakkan kepada MPR agar mengganti politik ekonomi konglomerasi orde baru dengan politik ekonomi kerakyatan yang telah dikukuhkan dalam TAP MPR RI.
(1) TAP MPR RI Nomor XVI/MPR/1998 Tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka
Demokrasi Ekonomi.
1. Tujuan Politik Ekonomi Nasional : "Politik ekonomi nasional diarahkan untuk menciptakan struktur ekonomi nasional agar terwujud pengusaha menengah yang kuat dan besar jumlahnya, serta terbentuknya keterkaitan dan kemitraan yang saling menguntungkan agar pelaku ekonomi yang meliputi usaha kecil, menengah dan koperasi, usaha besar swasta, dan Badan Usaha Milik Negara yang saling memperkuat untuk mewujudkan Demokrasi Ekonomi dan efisiensi nasional yang berdaya saing tinggi";
2. Pilar Utama Ekonomi Nasional : "Usaha kecil, menengah dan koperasi sebagai pilar utama ekonomi nasional harus memperoleh kesempatan utama, dukungan, perlindungan dan pengembangan seluas-luasnya sebagai wujud keberpihakan yang tegas kepada kelompok usaha ekonomi rakyat, tanpa mengabaikan peranan usaha besar dan Badan Usaha Milik Negara";
3. Anti Monopoli : "Dalam pelaksanaan demokrasi ekonomi, tidak boleh dan harus ditiadakan terjadinya penumpukan aset dan pemusatan kekuatan ekonomipada seorang, sekelompok orang atau perusahaan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan pemerataan";
Bila dibandingkan dengan politik ekonomi orde baru, kelihatan terjadi perubahan yang mendasar dalam TAP MPR RI No. XVI/MPR/1998 tersebut dalam hal-hal sebagai berikut :
1. Pilar utama ekonomi nasional yang sebelumnya adalah usaha besar konglomerat menjadi usaha kecil, menengah dan koperasi.
2. Anti Monopoli, menentang kebijakan orba yang sebelumnya mendorong terjadinya penumpukan aset dan pemusatan kekuatan ekonomi pada sekelompok orang.
(2) TAP MPR RI Nomor IV/MPR/1999 Tetang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 (Bab IV, B. Ekonomi).
1. Sistem Ekonomi Kerakyatan dalam Sistem Ekonomi Pasar:
"Mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan sehat ……" .
2. Mengakui Ketidaksempurnaan Pasar:
"Mengembangkan persaingan yang sehat dan adil serta menghindarkan terjadinya struktur monopolistik dan berbagai struktur pasar yang distortif, yang merugikan masyarakat";
3. Peranan Pemerintah Mengoreksi Ketidaksempurnaan Pasar:
"Mengoptimalkan peranan pemerintah dalam mengoreksi ketidaksempurnaan pasar dengan menghilangkan seluruh hambatan yang mengganggu mekanisme pasar
melalui regulasi, layanan publik, subsidi dan insentif yang dilakukan secara
transparan dan diatur dengan undang-undang."
Kedua TAP MPR tersebut satu sama lain saling melengkapi, sehingga Indonesia telah memiliki politik ekonomi pembangunan era reformasi yang jelas dan tegas yang pokok-pokoknya sebagai berikut :
1. Membangun Sistem Ekonomi Kerakyatan
2. Melaksanakan Ekonomi Pasar;
3. Melaksanakan Persaingan yang Sehat;
4. Pemerintah Mengoreksi Ketidaksempurnaan Pasar;
5. Menentang Monopoli;
6. UKMK Sebagai Tulangpunggung Ekonomi Nasional;
Mekanisme Pelaksanaan Politik Ekonomi Reformasi
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 Tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 merupakan arah dan pedoman bagi kebijakan penyelenggraan negara, termasuk lembaga tinggi negara, dan seluruh rakyat Indonesia, dalam melaksanakan penyelenggaraan negara dan melakukan langkah-langkah penyelamatan, pemulihan, pemantapan dan pengembangan pembangunan, dalam kurun waktu tersebut. Sesuai dengan amanat GBHN 1999-2004, arah kebijakan
penyelenggaraan negara harus dituangkan dalam Program Pembangunan Nasional
lima tahun (Propenas) yang ditetapkan oleh Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Propenas sudah selesai disusun dan agar Propenas mempunyai kekuatan hukum, maka Presiden bersama DPR telah mengesahkannya menjadi Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004, pada tanggal 20 Nopember 2000. Dalam Propenas telah diuraikan lebih mendetail ciri-ciri ekonomi kerakyatan yang merupakan sistem ekonomi yang hendak dibangun oleh orde reformasi sebagai berikut:
1. "Ciri utama sistem ekonomi kerakyatan adalah penegakkan prinsip keadilan
dan demokrasi ekonomi, disertai kepedulian terhadap yang lemah. Sistem
ekonomi tersebut harus memungkinkan seluruh potensi bangsa, baik sebagai
konsumen, sebagai pengusaha maupun sebagai tenaga kerja, tanpa membedakan
suku, agama, dan gender, mendapatkan kesempatan, perlindungan dan hak untuk
memajukan kemampuannya dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya dan partisipasinya secara aktif dalam berbagai kegiatan ekonomi, termasuk dalam
memanfaatkan serta memelihara kekayaan alam dan lingkungan hidup. Di dalam
melaksanakan kegiatan tersebut, semua pihak harus mengacu kepada peraturan
yang berlaku";
2. "Ciri kedua, sejalan dengan ciri pertama, adalah pemihakkan, pemberdayaan, dan perlindungan terhadap yang lemah oleh semua potensi bangsa, terutama pemerintah sesuai dengan kemampuannya. Pemerintah melaksanakannya melalui langkah-langkah yang ramah pasar. Penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi (UKMK) termasuk petani dan nelayan kecil, merupakan prioritas utama dalam pengembangan sistem ekonomi kerakyatan. Bagi kelompok penduduk yang karena keadaannnya mempunyai keterbatasan, dilakukan langkah-langkah untuk meningkatkan kemampuannya dan memberikan dukungan agar dapat memanfaatkan akses yang terbuka. Dukungan yang mendasar dan secara umum diberikan kepada penduduk miskin, antara lain, dengan memberikan pelatihan, pendidikan dan pelayanan kesehatan dengan beaya yang terjangkau. Sedangkan bagi UKMK, termasuk petani dan nelayan kecil, untuk memajukan kemampuan dan usahanya, diberikan berbagai pelatihan serta peningkatan akses kepada permodalan, informasi pasar, dan teknologi tepat guna. Langkah-langkah yang ramah pasar tersebut diberikan secara selektif, transparan, dan tegas disertai dengan pengawasan yang efektif.";
3. "Penciptaan iklim persaingan usaha yang sehat dan intervensi yang ramah pasar. Upaya pemerataan berjalan seiring dengan upaya menciptakan pasar yang kompetitif untuk mencapai efisiensi optimal. Dengan demikian, misalnya, hubungan kemitraan antara usaha besar UKMK harus berlandaskan kompetensi bukan belas kasihan. Untuk itu, prioritas dilakukan bagi penghapusan praktek-praktek dan perilaku-perilaku ekonomi diluar aturan permainan yang dianggap wajar dan adil oleh masyarakat seperti praktek monopoli, pengembangan sistem perpajakan progresif yang efektif dan deregulasi yang diarahkan untuk menghilangkan ekonomi beaya tinggi."
4. "Pemberdayaan ekonomi rakyat sangat terkait dengan upaya menggerakkan
ekonomi pedesaan. Oleh karena itu, upaya mempercepat pembangunan pedesaan,
termasuk di daerah terpencil, daerah minus, daerah kritis, daerah perbatasan dan daerah terbelakang lainnya harus merupakan prioritas, antara lain, dengan meningkatkan pembangunan prasarana pedesaan dalam mendukung pengembangan keterkaitan desa-kota sebagai bentuk jaringan produksi dan distribusi yang saling menguntungkan";
5. "Pemanfaatkan dan penggunaan tanah dan sumber daya alam lainnya, seperti
hutan, laut, air, udara dan mineral secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat masyarakat adat dengan tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup".
6. "Pembangunan ekonomi rakyat, antara lain pertanian, perkebunan, peternakan,
perikanan/pertambakan, pertambangan, industri dan perdagangan barang dan jasa yang berskala mikro dan kecil, merupakan inti dari pembangunan sistem ekonomi kerakyatan."
Dalam rangka melaksanakan GBHN dan Propenas, pemerintah bertanggung jawab menyusun Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) yang memuat kebijakan pembangunan selama setahun, menyampaikannya dalam sidang kabinet untuk disetujui menjadi program pemerintah. Pada bulan Juli 2001, Menkeu Rizal Ramli menyampaikan Repeta 2002 kepada DPR untuk disahkan menjadi undang-undang. Pada pemerintahan presiden Megawati, tugas menyusun Repeta menjadi tanggungjawab Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Menurut keterangan Menko Ekuin, Repeta tahun 2003 sedang disusun dan tak lama lagi akan dibicarakan di dalam kabinet. Hari Selasa tanggal 7 Mei yang lalu, Menneg PPN/Kepala Bappenas telah membagikan kepada pers laporan akhir penyusunan Repeta 2003 sebagai berikut:
• pemanfaatan pinjaman akan disesuaikan dengan kebutuhan, benar-benar
bermanfaat bagi masyarakat, dan dalam jangkauan kita;
• menggali potensi penerimaan APBN secara maksimal;
• mempertajam alokasi pengeluaran;
• prioritas anggaran pembangunan diletakkan pada :
o proyek-proyek yang berdampak luas pada penciptaan dan peningkatan
lapangan kerja;
o meneruskan proyek yang sedang berjalan;
o proyek yang dapat dengan cepat berfungsi dan menghasilkan manfaat bagi
masyarakat;
o proyek yang tersedia dana pendamping bagi pelaksanaannya.
Disamping itu, dinyatakan pula bahwa Repeta tahun 2003 memuat Kerangka Kebijakan dan Alokasi Anggaran.
Berdasarkan Repeta, pemerintah menyusun Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), lalu disampaikan kepada DPR untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Dalam melaksanakan APBN, tim ekonomi pemerintah melakukan koordinasi antar departemen agar seluruh isi Repeta bisa terlaksana secara efektif. Demikianlah prosedur dan mekanisme penyusunan dan pelaksanaan politik dan kebijakan ekonomi sesuai dengan aturan ketatanegaraan kita. Maka timbul pertanyaan apakah diperlukan lagi suatu paket pemulihan ekonomi Indonesia yang menyeluruh dari Wapres yang rencananya akan
dikeluarkan dalam bentuk Keppres?
Tim Kecil dan Tugas-tugasnya
Dalam sidang kabinet tanggal 14 Januari 2002, presiden Megawati Soekarnoputri membentuk tim kecil yang terdiri dari Presiden, Wakil Presiden dan ketiga Menko untuk mengkaji dan merumuskan:
1. tanggapan pemerintah atas keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang memperpanjang waktu sampai 10 tahun dan penurunan bunga bagi
penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS).
2. menyiapkan kebijakan restrukturisasi hutang UKM (Usaha Kecil dan Menengah) dan KUT (Kredit Usaha Tani).(Koran Tempo 13 Maret 2002). Lalu mengapa kemudian penugasan presiden Megawati kepada Tim Kecil ini diubah menjadi seolah-olah presiden memberikan tugas kepada wapres Hamzah Haz untuk menyusun konsep pemulihan ekonomi Indonesia yang menyeluruh ?
Mengapa Presiden Membentuk Tim Kecil ?
Karena keputusan KKSK mengenai perpanjangan PKPS tidak sesuai dengan TAP
MPR dan Propenas serta sangat tidak adil. Bersamaan dengan itu, presiden juga menugaskan Tim Kecil untuk menyusun kebijakan restrukturisasi hutang UKM yang sejak krisis terjadi hampir 5 tahun yang lalu terabaikan. Tanggal 8 Maret 2002, Tim Kecil telah mengeluarkan keputusan pemerintah yang isinya membatalkan rekomendasi KKSK (No. Kep 02/K.KKSK/12/2001) yang akan memperpanjang PKPS 10 tahun lagi dan menginstruksikan kepada seluruh aparat negara agar PKPS diselesaikan sesuai Propenas yang telah dikukuhkan menjadi Undang-undang No.25 Tahun 2000. Sesuai dengan Propenas, pemerintah seharusnya mendahulukan restrukturisasi hutang UKM. Tetapi kenyataannya tim ekonomi kabinet samasekali belum menyusun kebijakan restrukturisasi hutang UKM ini. Karena itulah maka presiden Megawati merasa perlu membentuk tim kecil diantaranya untuk tugas penyusunan kebijakan restrukturisasi hutang UKM.
Dari kejadian ini terlihat peranan presiden Megawati mengoreksi keputusan pembantunya yang tidak sesuai dengan TAP MPR dan Propenas dan mengarahkan agar tim ekonomi dapat memperhatikan UKM yang menurut Propenas adalah tulang punggung ekonomi nasional kita.
Pemulihan Ekonomi Indonesia Berjalan Lambat
Dibandingkan dengan beberapa negara-negara Asia Timur yang dilanda krisis, pemulihan ekonomi Indonesia memang berjalan lambat. Pengamat ekonomi yang mantan menteri Pertambangan, M. Sadli berpendapat hal ini terjadi karena adanya 4 nakhoda dalam pemulihan ekonomi Indonesia, yaitu "Presiden, Pembantu Presiden, IMF dan DPR" yang suka memilih sendiri arah, kecepatan serta kiat pemulihan ekonomi Indonesia. Karena itu, Sadli pempertanyakan apakah keterlibatan langsung Wapres akan membantu banyak
?(Koran Tempo, 18 Maret 2002). Sedangkan ekonom CSIS Mari Pangestu mengatakan bahwa yang menjadi sebabnya adalah karena "pemahaman liberalisasi ekonomi (Indonesia) masih kabur" (Bisnis Indonesia, 16 Februari 2002). Dan tim ekonomi Wapres tentu saja berpendapat bahwa karena kita belum mempunyai konsep pemulihan ekonomi yang menyeluruh, sehingga diperlukan menyusun suatu Paket Pemulihan Ekonomi Indonesia. Kita berpendapat bahwa lambatnya jalan pemulihan ekonomi Indonesia (tentu saja diluar faktor kestabilan politik dan keamanan serta inkonsistensi hukum) bukan karena ketiadaan konsep pemulihan ekonomi yang menyeluruh, melainkan
karena :
Pertama, Politik ekonomi reformasi seperti yang tertuang dalam TAP MPR RI dan Propenas tidak/belum dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Setelah bertemu presiden, ekonom UGM Revrisond Baswir mengatakan bahwa presiden Megawati sangat mendukung ekonomi kerakyatan, tetapi presiden juga mengatakan : "Selama 30 tahun konglomerat dimanja dan setelah krisis masih terus minta difasilitasi. Dan ekonom arus utama tetap membesar-besarkan masalah konglomerat seperti PKPS, obligor dan sebagainya. Padahal, ada kekuatan ekonomi rakyat yang jauh memiliki daya tahan di lapangan dan punya cara sendiri dalam memperkuat perekonomian namun selama ini tidak diperhatikan." Beliau juga mengatakan "sebagai presiden agak sulit mengambil posisi menyalahkan secara terbuka karena akan menimbulkan gaduh. Lebih baik secara operasional dilakukan upaya serius untuk mempercepat perkembangan ekonomi rakyat". (Bisnis Indonesia 19 Maret 2002).
Kedua, Hambatan yang datang dari birokrasi pemerintah.
Rekomendasi KKSK memperpanjang PKPS adalah suatu rekomendasi yang tidak
sesuai (kalau tidak bisa diakatakan bertentangan) dengan TAP MPR dan Propenas. Artinya ada ketidak pahaman atau hambatan yang datang dari birokrasi pemerintah sendiri. Adalah benar sekali apa yang diutarakan oleh Hadi Soesastro dari CSIS "birokrasi seringkali menghambat laju proses reformasi, sehingga perubahan yang diinginkan kembali mentah" (Bisnis Indonesia, 18 Februari 2002). Hal ini tentu berkaitan erat dengan begitu banyaknya birokrasi pemerintah kita yang masih saja terdiri dari orang-orang Golkar yang selama orde baru melakukan KKN dan bertanggungjawab terhadap ketepurukan ekonomi kita hingga saat ini. Menanggapi sikap sementara aparat birokrasi yang menghambat ini, presiden Megawati dengan tegas menganjurkan agar "mengganti mereka yang tidak sejalan dengan kita". Bahkan presiden pernah mengatakan "Saya ini memimpin suatu pemerintahan yang saya sebut keranjang sampah" (Republika, 12 Februari 2002). Karena itu, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah perubahan aparat birokrasinya yang tidak mau mengikuti jalan reformasi yang sedang kita lakukan bersama-sama.
Ketiga: Kesepakatan Indonesia dengan Dana Moneter Internasional (IMF)
IMF memberikan merekomendasikan agar pemerintah menstabilkan ekonomi makro
dengan cara memusatkan perhatian pada usaha rekapitulasi perbankan, privatisasi dan kebijakan uang ketat (bunga tinggi) seperti yang terlihat dalam setiap LoI antara pemerintah dengan IMF. Kebijakan ini tidak sama dengan isi TAP MPR dan Propenas. Selama kita terikat pada LoI dengan IMF, maka sulit bagi pemerintah untuk melaksanakan TAP MPR dan Propenas secara konsekuen. sehingga Indonesia dapat melaksanakan agenda reformasi ekonomi dengan lebih leluasa. Berdasarkan pengalaman selama ini, perjanjian khusus yang dibuat mantan presiden Suharto dengan IMF tahun 1997 ternyata
merupakan hambatan bagi kita untuk melaksanakan TAP MPR dan Propenas yang
kita yakini bersama sebagai jalan keluar yang tepat dari krisis ekonomi. Karena itu, sebaiknya perjanjian khusus dengan IMF yang akan berakhir tahun 2003 tidak diperpanjang lagi, Kebijakan ini sedang dalam proses pengkajian oleh kantor Menneg
PPN/Kepala Bappenas. Ini tidak berarti memutuskan kerjasama dengan IMF dan
Lembaga-Lembaga Keuangan Internasional lainnya yang memang dibutuhkan Indonesia.
Bersatu Menanggulangi Krisis Menuju Masa Depan Yang Lebih Baik.
Propenas yang memperinci TAP MPR RI Nomor IV/MPR/1999 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara telah disahkan menjadi Undang-Undang No 25 Tahun 2000 secara lengkap telah memuat program politik maupun program ekonomi yang menyeluruh yang harus kita laksanakan dengan konsekuen dan sekaligus merupakan program (selain UUD 45 dan Pancasila) yang seharusnya mengikat persatuan kita semua. Propenas dan TAP MPR adalah juga dokumen yang seharusnya kita gunakan baik dalam menilai sikap dan perbuatan Lembaga Tinggi Negara seperti MPR, DPR dan Pemerintah maupun sikap elite politik kita. Bila pemulihan ekonomi belum juga berhasil, kita harus meninjaunya dari 2 segi : apakah kesalahannya pada Propenas dan TAP MPR, ataukah pada pelaksanaannya yang tidak konsekuen. Dengan demikian, penilaian dapat dilakukan secara terukur (akuntabel). Adalah sangat disayangkan bahwa MPR (dalam sidang tahunan 2001) tidak menjadikan TAP MPR yang mereka buat sendiri dan Propenas sebagai dasar utama dalam memberikan penilaian terhadap kinerja pemerintah. Dalam hal keputusan KKSK tentang perpanjangan PKPS terlihat bahwa tim ekonomi kabinet tidak menjadikan TAP MPR dan Propenas sebagai dasar pengambilan kebijakannya. Mari kita bersatu melaksanakan dengan konsekuen kesepakatan kita bersama -TAP MPR RI 1999 dan Propenas - dan menjadikannya sebagai dasar bagi penilaian terhadap jalannya reformasi dalam menuju masa depan yang lebih baik.
Trust, IMF dan Konsesi Politik RI
________________________________________
Misi politik Amerika serikat, "Do not disturb Indonesia", akan mewarnai kebijakan IMF di Indonesia, karena ternyata Presiden RI masih "berguna" bagi kepentingan nasional AS. Dengan misi itu, IMF bertekad mengembalikan "trust" (kepercayaan) masyarakat terhadap rupiah. Tapi apakah ada "instant trust"?
________________________________________
Minggu ini, masyarakat Indoesia dibikin bingung sambil menunggu keputusan IMF, yang katanya untuk menstabilkan nilai Rupiah dan mengembalikan kepercayaan masyarakat investor asing dan masyarakat Indonesia.
Bingung, karena biasanya akibat rekomendasi IMF selalu membawa malapetaka bagi rakyat banyak, seperti adanya pengketan APBN, pencabutan subsidi BBM dan subsidi lainnya, seperti sudah terjadi di Thailand. Apalagi berita kenaikan transportasi angkutan udara sudah diumumkan, kemudian harga beras, ayam, sayuran dsb. sudah menunjukkan kenaikan harga. Apalagi disusul dengan adanya PHK dibulan Oktober, jauh lebih baik bagi para pengusaha ketimbang mem-PHK-kan dibulan Desember 1997, dimana para pengusaha harus membayar gaji yang ke 13 plus tambahan THR.
Apalagi akibat El Nino berupa kemarau panjang makin terasa bagi kehidupan sehari-hari. Jadi El Nino meningkatkan inflasi. Seperti diketahui, IMF identik dengan kepentingan politik-ekonomi Amerika Serikat dkk., karena voting power Amerika Serikat dkk., hampir 40% di IMF, sedangkan Indonesia hanya 1%.
Oleh karena itu missi politik-ekonomi Amerika Serikat yang dibawa Team IMF adalah prioritas utama, yaitu: "Please Do not Disturb Indonesia", walaupun Amerika Serikat sedikit sakit hati dengan Indonesia, karena pembatalan pembelian kapal terbang F-16 dan pesawat Riadygate., serta soal Indonesia memasukkan Myanmar ke ASEAN.
Kepantingan politik-ekonomi Amerika Serikat di Indonesia terlalu besar dewasa ini, karena Presiden RI masih "berguna" bagi kepentingan nasional Amerika Serikat, sekalipun ada masalah HAM, korupsi dan beliau akan menjadi Presiden RI untuk yang ketujuh kalinya. Karena, investasi Amerika Serikat di Natuna Gas Alam, Freeport (walaupun sedikit berlawanan dengan platform politik Al Gore dibidang lingkungan hidup), AT & T, migas dll., serta di dalam negeri Amerika Serikat, Presiden Clinton perlu "partner" di wilayah Asia Pasifik.
Dengan missi tersebut, bagaimana IMF dapat mengembalikan "kepercayaan" (trust) masyarakat terhadap Rupiah. Dan memang Pemerintah RI memang "menjajagi" (sounding) dengan Imf dalam rangka memerlukan kepercayaan.
Akan tetapi kepercayaan tidak dapat diperoleh dengan cepat atau "meminjam" trust dari IMF, sebab kepercayaan memerlukan waktu, dan tidak ada yang namanya instant trust. Satu-satunya "instant trust" dari IMF adalah adanya komitmen finansial IMF.
Namun demikian, lubang kekurangan finansial di Indonesia begitu besarnya, sehingga berapapun jumlah kerbau yang di masukkan ke dalam lubang kekurangan finansial tidak mencukupi, kecuali berikut dengan yang angon kerbau.
Oleh karena itu saya heran Singapore bersedia membantu, walaupun Singapore menunggu keputusan IMF. Demikian pula Jepang menunggu keputusan IMF. Keputusan IMF-pun juga sangat bergantung apakah agenda IMF benar-benar dilaksanakan:
• rasionalisasi BUMN,
• merger dan likuidasi perbankan,
• revitalisasi kebijakasanaan fiskal dan moneter dan above all,
• kurs Rupiah/US Dollar benar-benar stabil dengan ditopang oleh standby loan dari IMF, Jepang dan Singapore plus cadangan devisa.
Kalau hanya komestik politik ekonomi, karena Pemerintah RI masih "berguna" bagi Amerika Serikat dkk, maka IMF akan kehilangan kredibilitasnya.
Jadi, maksud awalnya IMF akan menolong RI dalam mengembalikan kepercayaan pasar terhadap Rupiah, tetapi akhirnya kredibilitas IMF ikut merosot. Sebab, kalau IMF sudah mengikatkan diri dengan standby loan dengan jumlah signifikan, maka aturan main IMF sudah rutin, denagn segala akibat sosial-politiknya.
Pada sisi lain sumber inflasi di Indonesia, yaitu:
• 1/3 dari sektor moneter, seperti Kredit Likuiditas Bank Indonesia, kredit macet, kredit khusus untuk MObnas, dll, dan
• 2/3 dari sektor riil, seperti urbanisasi (kehidupan di kota makin mahal), beban birokrasi, korupsi dan rendahnya tingkat penggunaaan kapasitas ekonomi yang sudah terpasang.
Kalau kedua sumber inflasi ini tidak dibenahi dengan tuntas oleh IMF dan Pemerintah RI, maka tekanan inflasi ini makin mendorong Rupiah merosot terus.
Ini belum ditambah dengan tekanan-tekanan Current Account Deficit, yang makin menggelembung dan beban hutang luar negeri, baik hutang luar negeri pemerintah, maupun terutama hutang swasta, yang diperkirakan akan jatuh tempo antara sebanyak US$ 12 milyar-US$ 15 milyar dalam waktu pendek.
Jadi lubangnya sudah terlalu besar, sehingga tidak mungkin ada negara lain mau membantu Indonesia, apalagi lembaga-lembaga internasional dengan persyaratan yang ketat, dengan akibat sosial politik ekonomi yang bisa fatal.
Menurut pendapat saya para konglomerat yang jumlahnya sekitar 200 orang (Penduduk Sementara Jimbaran) wajib menggadaikan uangnya di luar negeri agar Bank-bank yang memiliki uang tunai mereka bisa mengulurkan bantuannya lewat negara asal bank tersebut. Seperti misalnya Singapore dengan bantuan US$ 1 milyar, akan tetapi ini sebenarnya uang orang Indonesia yang digadaikan (back-to-back cash).
Sebab rasanya aneh negara sekecil Singapore (hanya 2 juta orang dengan luas 2 kilometer persegi) membantu Indonesia (jumlah penduduk 200 juta orang dengan luas daratan sekitar dua juta kilometer persegi dan luas lautannya sekitar 6,5 juta kilometer). Apalagi lubang yang ditutup disebabkan karena, antara lain hasil kolusi dan korupsi dan hasil besarnya pasak daripada tiang.
Jikalau Presiden RI tidak bisa menekan 200 orang tersebut, maka terpaksa dinasti ekonomi RI harus menomboki dengan menggadaikan dana yang selama 30 tahun ini di akkumulasi.
Masalahnya apakah konsesi politik ekonomi bisa diterima oleh pemegang kekuasaan. Hal ini bukan masalah bisa atau tidak, akan tetapi masalah kapan konsesi politik-ekonomi tersebut harus dilakukan: apakah sekarang menjelang berakhirnya keputusan IMF atau konsesi politik-ekonomi yang "dipaksa" oleh keadaan nantinya. Keadaan, dimana "the limit of tolerance" telah melewati ambang batas kesabaran.
Sebagai kesimpulan, kepercayaan yang diharapkan dari IMF hanya terbatas, bahkan paling banyak hanya 1/3 saja. Kepercayaan memerlukan waktu. Dan karena waktunya pendek, maka perlu inovasi rekayasa untuk menopang Rupiah/US Dollar makin merosot. Saya sudah perkirakan sekitar Rp 5.000,00 per US$ 1.00 di dalam kwartal pertama 1998, karena tekanan-tekanan inflasi di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat inflasi di Amerika Serikat, sehingga dibutuhkan penyesuaian kurs Rupiah/US Dollar dengan drastis, sampai 100% dari angka artifisial Rp 2.500,00 selama sepuluh tahun ini dengan tingkat depreslasi Rupiah sekitar 5%. Sekarang saja sudah hampir 60%.
Dengan kondisi tekanan inflasi yang kuat dan yang tidak jelas pembenahannya, baik oleh Pemerintah RI, maupun oleh IMF, maka salah satu cara mengatasi kemerosotan Rupiah, bukan hanya menggenjot ekspor non-migas, melainkan dengan konsesi politik-ekonomi, yaitu "mengembalikan" uang yang sekarang berada di kantong penduduk sesaat Jimbaran. Uang tersebut dapat digadaikan atau dibekukan untuk menomboki jangan sampai Rupiah merosot lebih dari 60%. Kalau ini masih sulit, berarti pengusaha "overconfidence" dengan kondisi politik ekonomi Indonesia yang makin gawat ini, sehingga beliau-beliau segan untuk melakukan konsesi politik-ekonomi sekarang.
________________________________________
0 komentar:
Posting Komentar